OLEH Tauhid Nur Azhar
Mari kita bayangkan jika di suatu senja berkabut dengan spektrum warna jingga malu-malu menembus tirai tipis putih beledu itu, di Groote Postweg Bandung, 1920, usai peletakan batu pertama gedung baru GB, Johanna Catherina Coops, putri sulung Walikota Bandung yang bernama Bertus Coops, ingin menikmati secangkir teh istimewa beserta kudapan ala Eropa di hotel Thiem.
Sebuah hotel dekat titik nol yang dibangun pada tahun 1897 oleh WHC Van Deeterkom, setelah sebelumnya di sana berdiri sebuah toko serba ada yang juga bernama Thiem sejak tahun 1884. Hotel Thiem bergaya Victoria yang saat itu dikenal sebagai gaya Indische empire
Tentu menjadi tempat para sosialita pada masa nya bertukar cerita dan canda tawa.
Maklumlah saat itu tentulah Bandung, Groote Postweg, dan para pekebun tajir yang mengolah berbagai tanaman berpotensi industri adalah sebuah kisah dengan romansa tersendiri.
Dataran tinggi nan cantik di ketinggian lebih dari 700 meter berudara sejuk seperti musim semi di Eropa, tanpa pernah didera musim dingin membekukan dengan suhu kurang dari minus lima, atau musim panas ekstrem bersuhu lebih dari 40° celsius, tentulah sebuah kota yang menjadi surga kecil bangsa Eropa yang seolah terlempar ke bagian barat pulau Jawa.
Berkah busur vulkanik Sunda, maujud dalam kesuburan lahan dan indahnya bentang alam Priangan atau yang oleh para imigran Eropa lebih dikenal sebagai Preanger.
Kelak kita mengenal Preanger inilah nama baru hotel ex toko Thiem yang direnovasi total menjadi hotel berarsitektur art Deco geometris karya Prof Schoemaker yang dibantu insinyur kesayangannya, Soekarno.
1920-1929 adalah era pembangunan kawasan Groote Postweg yang amat pesat, selain Gouvernements Bedrijven alias gedung sate dengan 6 jambu yang ditusuk di puncaknya sebagai simbol biaya yang dikeluarkan untuk proses konstruksinya, 6 juta gulden. Berkembang pula Concordia Societeit, dan pusat fashion serta kuliner di Bragaweg.
Para pencari peruntungan dari Eropa rela bertualang sampai ke pulau Jawa, karena melihat prospek yang luar biasa dari peradaban yang berkembang di wilayah ini. Trio Ursone, tuan tanah Lembang dan Bandung Utara misalnya, datang dari Italia sebagai penyanyi dan musisi hotel dan berakhir sebagai pengusaha susu dan peternak sapi terbesar di zamannya.
Di Braga ada pengusaha asal Swiss yang tentu ahli dalam soal jam dan soal mekaniknya. Kini kitapun masih dapat menelusuri jejaknya berupa Rumah dan toko serta gudang dua bersaudara dari Swiss yang tinggal di Bandung dan berjualan jam serta arloji sejak 1926. Horlogerie Stocker nama tokonya, H.P. Stocker dan P.E. Huber nama lengkap pemiliknya. Menyusul Bragaweg menjadi pusat sosialita Bandung dgn adanya Maison Bogerijen dan toko fashion OB alias Onderling Belang. Perubahan kawasan Braga dimulai sejak Societeit Concordia dan Homann mulai menjadi tempat rekreasi para Priangan Planters dari gunung2 seputar Bandung. Lalu CA Hellerman pada 1894 membuka winkel atau toko pertama di Braga yang menjual senjata dan berbagai perlengkapan kereta kuda. Maklum Braga kan dekat sekali dgn Grote Postweg nya Daendels.
Di rumah Stocker inilah teknologi jam Swiss diperkenalkan pada warga Bandung, maka ada area semi tertutup yang mungkin pada masanya menjadi area penyimpanan ataupun workshop bagi Stocker dan Huber untuk “mengulik” berbagai macam mesin jam.
Kembali ke hotel Preanger dan sejarahnya, serta nilai yang terkandung di dalamnya, jika kini akan direvitalisasi dan dihidupkan kembali sebagaimana di masa jayanya, maka jangan lupakan sejarah panjang yang menyertainya.
Musik waltz dan kabaret, penganan ala Holland peranakan, dan fashion ala Braga pada masa jayanya dapat menjadi panduan untuk mengonstruksi konsep *Preanger the Jewel of Oud Bandung* the first metaverse hybrid heritage hotel in town.
Di dalamnya ada Bandung dan berbagai cerita yang mengonstruksinya. Karena Bandung bukanlah sekedar kota, ia adalah rasa, cinta, dan akumulasi makna dari banyak manusia yang pernah singgah dan tak pernah beranjak darinya.
The Story,
*Mencari Jejak Ki Sunda*
Sebuah mangkok nan indah dan subur kini terbentang dengan dipenuhi permukiman dan berbagai gedung yang tinggi menjulang. Kita menamainya Megapolis Bandung. Bahkan sejak RAA Wiranatakusumah memindahkan ibukota ke daerah Masjid Agung Dalem Kaum saat ini dari Dayeuh Kolot, kota yang satu ini terus berkembang dan terus menjadi daya tarik kuat bagi para pendatang. Di awal abad ke-20 bangsa Belanda bahkan berniat memindahkan pusat administrasi pemerintahan (Bienensland Bestuur/BB) ke lembah Bandung, yang ditandai antara lain dengan dibangunnya gedung Jambu atau yg kini dikenal sebagai Gedung Sate. “Sate” di pucuk atap yang mengadopsi bentuk atap dari seni arsitektur Sunda buhun, Julang Ngapak, dan “berisi” 5 jambu yg ditusuk, sebenarnya adalah lambang dari harga pembangunan gedung itu yang nilainya ditaksir sekitar 5 juta gulden. Saat itu pembangunan gedung sate sungguh luar biasa karena sudah menggunakan tenaga ahli bangunan impor yang didatangkan dari tlatah Tiongkok. Mereka sesungguhnya adalah para ahli pembangun bangunan kubur di negara asalnya. Para tukang bangunan migran tersebut diberi permukiman di sekitar lembah Cikapundung yang kini menjadi bagian dari wilayah Banceuy dan sekitarnya. Maka tak heran budaya Cina Peranakan seperti warung kopi Purnama dll dapat dengan mudah kita temukan di sana. Pada 1920 sejarah mencatat bahwa salah satu perguruan tinggi teknik tertua di Hindia Belanda didirikan di Bandung, antara lain berkat inisiatif dari Prof Wolf Schoemaker yang juga merupakan guru Bapak Bangsa kita, Ir. Soekarno. TH yang kelak dikenal sebagai ITB berdiri di daerah aliran sungai Cikapundung yang kini dikenal sebagai kawasan Taman Sari. Tetapi kira2 apa yang ada di lembah cantik ini sekitar 50 ribu tahun lalu ? Atau bahkan beberapa ribu tahun sebelumnya di era Holosen awal ? Jika kita mengeksplorasi daerah di seputaran Bandung Utara seperti Dago Pakar kita akan menemukan beberapa artefak Obsidian, jenis mineral batuan yang kerap dijadikan perhiasan dan juga alat tukar oleh warga Bandung di tepian Bandung Purba. Ya…Bandung punya sejarah setua itu. Bahkan menurut Prof RP Koesoemadinata, guru besar Geologi ITB, artefak2 tersebut adalah bukti nyata adanya peradaban kuno di tepian lembah Bandung yang telah dimulai dari masa di mana gunung Sunda Purba meletus. Homo Sapiens yang tergolong masih berusia muda saat itu telah tinggal dan membangun peradaban di Lembah Bandung.
Artefak ini hanya diketemukan pada puncak-puncak bukit dengan ketinggian lebih dari 725 m di atas muka laut, dan fakta ini dianggap sebagai bukti untuk adanya suatu danau purba (Danau Bandung), yang juga disebut-sebut dalam dongeng rakyat Sunda “Sasakala Sangkuriang”. Kisah legenda tentang ksatria digdaya Sunda yang jatuh cinta dan ingin menikahi Ibunya sendiri, Dayang Sumbi, mengandung banyak pesan tersembunyi yang memiliki makna geologis dari serangkaian sejarah kesaksian atas terbentuknya Gunung Tangkuban Parahu, Burangrang, dan juga Bukit Tunggul. Sekaligus menyimpan misteri tentang evolusi dan akulturasi, dimana digambarkan bahwa Sangkuriang sebenarnya adalah keturunan manusia setengah dewa yang dikutuk menjadi seekor anjing hitam yang dikenal sebagai si Tumang. Manusia setengah dewa ini kerap muncul di hampir setiap legenda manusia pertama di berbagai belahan dunia. Bangsa setengah dewa ini dikenal sebagai bangsa Naga di berbagai kebudayaan, termasuk di meso Amerika yang saat itu dihuni oleh suku Inka dan Maya. Mengingat di penghujung era Pleistosen fase glasial dan deglasial datang silih berganti dan muka air laut berdinamika sedemikian rupa, maka perjalanan keliling dunia saat itu mungkin dapat dilakukan dengan metode yang jauh lebih sederhana dari apa yang selama ini kita duga. Perjalanan gelombang migrasi sapien dari Asia ke benua Amerika melalui Siberia dan selat Bering sampai menjadi cikal bakal orang Indian Amerika dan suku Inuit di Kutub Utara, misalnya. Sedangkan Ki Sunda yang mengokupasi tepian danau Bandung Purba di sekitaran 50 ribu tahun lalu, mungkin saja secara genealogis merupakan bagian dari gelombang migrasi awal peradaban manusia yang telah mengenal teknologi untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi rupa muka bumi. Keberadaan berbagai jenis artefak di perbukitan Bandung Utara dan Selatan menurut kajian Prof Koesoemadinata adalah petunjuk penting tentang penyebaran manusia seiring dengan proses adaptasinya dengan berbagai fenomena geologi yang ada. Dalam tulisannya, Prof Koesoemadinata menyatakan bahwa artefak yang diketemukan sebelah timur laut Bandung terdiri dari serpihan batu obsidian, sering dalam bentuk ujung anak panah, pisau, peraut dan jarum penindis; alat batu terpoles seperti penumbuk, kapak batu bermuka dua terbuat dari batu kalsedon, gelang-tangan dari batu serta serpihannya, juga serpihan tembikar dan juga bentuk-bentuk pengecoran perunggu atau besi. Lebih lanjut situs-situs ini mengungkapkan keberadaan keramik import Hindu/Cina berasal dari abad ke 18. Situs-situs ini diyakini telah dihuni terus-menerus sejak zaman neolitikum, melalui zaman perunggu Dong son sampai kurang dari 300 tahun yang lalu. Leluhur ki Sunda di daerah Bandung telah bekerja dalam industri logam dan perdagangan peralatan (batu). Penelitian geologi oleh Van Bemmelen (1934) mengonfirmasi keberadaan danau purba ini yang terbentuk karena pembendungan sungai Citarum Purba oleh pengaliran debu gunung-api masal dari letusan dasyat G. Tangkuban Parahu yang didahului oleh runtuhnya G. Sunda Purba di sebelah barat laut Bandung dan pembentukan kaldera dimana di dalamnya Gunung Tangkuban Parahu tumbuh. Jenis erupsi Plinian ini telah menutupi pemukiman di sebelah utara-barat laut Bandung, mengingat tidak ada artefak yang diketemukan disini. Pemikirannya adalah bahwa leluhur Ki Sunda seharusnya telah menyaksikan kejadian besar ini, hingga lahirlah legenda Sasakala Sangkuriang sebagai ekspresi dari capaian imajinasi kognitif yang berangkat sebagai bagian menegasi fakta ke dalam kapasitas pemahaman yang dikembangkan sesuai dengan tingkat pengetahuan di zaman yang bersangkutan. Karena belum adanya metoda modern pentarikhan radiometrik maka kejadian ini hanya diperkirakan telah terjadi sekitar 6000 tahun SM dengan mendasarkan pada artefak zaman Neolitikum. Penelitian geologi baru-baru ini menunjukkan bahwa endapan danau tertua yang telah ditentukan usianya berdasarkan radiometri adalah berumur 125 ribu tahun, sedangkan kedua erupsi Plinian yang terjadi itu telah ditentukan umurnya masing-masing 105 dan 55-50 ribu tahun yang lalu. Asal-usul danau Bandung ternyata bukan disebabkan oleh letusan Plinian, walaupun aliran debu yang pertama dapat saja memantapkan danau purba itu secara pasti. Danau purba ini berakhir pada sekitar 16 ribu tahun yang lalu. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa kecil kemungkinannya bahwa para pemukim awal ini telah menyaksikan pembendungan danau maupun lahirnya Gunung Tangkuban Parahu, mengingat munculnya manusia modern (Homo sapiens) di Afrika Selatan diperkirakan 120 sampai 100 ribu tahun yang lalu. Lebih masuk akal kalau Ki Sunda Purba ini telah menyaksikan letusan Plinian kedua yang telah melanda pemukiman sebelah barat sungai Cikapundung, (sebelah utara dan barat laut dari Bandung) sewaktu perioda letusan 55-50 ribu tahun yang lalu, mengingat bahwa Homo sapiens tertua yang ditemukan di Australia selatan adalah 62 ribu tahun yang lalu, dan di pulau Jawa sendiri manusia Wajak telah ditentukan berumur sekitar 50 ribu tahun yang lalu. Spekulasi yang lain adalah bahwa Homo erectus-lah yang telah menyaksikan pembendungan Danau Bandung dan lahirnya Gunung Tangkuban Parahu, mengingat kehadiran makhluk ini terkenal di Jawa setua 1,7 juta tahun, dan telah mengalami budaya obsidian (obsidian culture). Maka ada kemungkinan tepian danau Bandung juga merupakan daerah titik temu antar spesies atau varietas homo yang saling berinteraksi dan juga berkompetisi hingga keunggulan fungsi kognitif Sapiens mampu mengeliminir keberadaan homo lainnya. Kasus seperti ini juga terjadi di berbagai wilayah Eropa, termasuk di Bavaria, di mana Neanderthal yang bertubuh besar pada akhirnya punah. Legenda yang kerap menyebut sosok raksasa, Buta, atau Denawa tersebar di seluruh dunia, termasuk dalam kisah klasik Ramayana. Sedangkan dalam budaya tutur lisan Sunda, Ki Sunda sebagai leluhur suku Sunda hari ini dikaitkan dengan kisah banjir besar di zaman Nabi Nuh As, yang tentu memiliki pola hubungan dengan fase glasial-deglasial di era Pleistosen. Jejak Ki Sunda mulai terlihat, dalam Kitab Waruga Jagat, Mas Ngabehi Purana-Sumedang, 1117 H. Kitab ini mengutip silsilah seorang raja Sunda yang bergelar: Ratu Galuh. Raja ini keturunan generasi ke-7 dari Syam bin Nuh a.s.:
“..Inilah cerita putra Nabi (Nuh As) dari (istrinya) yang muda dinamai Baginda Sam.
Baginda Sam berputra Bakarbuwana, yang berputra Manaputih … Gantungan.
Manaputih … Gantungan berputra Ongkalarang, Ongkalarang berputra Sayar.
Ratu Sayar berputra Ratu Majakane, Ratu Majakane berputra Parmana.
Parmana berputra lima orang: Yang seorang Ratu Galuh..”
Buyut Ratu Galuh–Raja Sunda, adalah Nuh Alaihissalam, seorang nabi Allah SWT. Apakah Ki Sunda adalah bagian dari gelombang migrasi umat manusia area pusar bumi (Afrika, Sub Sahara, Asia Kecil, tepi selatan Eropa) yang tiba di Sundaland yang kelak dikenal sebagai Nusantara ? Penelitian genealogis berbasis teknik genetika modern mungkin akan dapat membuktikannya, sebagaimana hari ini sedikit mulai terkuak setelah penelitian kromosom Y (y-STR/short tandem repeated dan y-SNP/single nucleotide polymorphisme) dan mtDNA dilakukan dibeberapa kepulauan dengan sejarah peradaban manusia Nusantara tertua. Esensinya tentu bukan sekedar kebanggaan kultural soal asal usul, tetapi semestinya lebih pada proses “mengenal” siapa kita, dan mau kemanakah gerangan kita ?
*Kina, Vaksin Kering, Observatorium Boscha, Radio Malabar, dan PK-KKH: Ikon Inovasi Bandung dalam Sejarah Perkembangan Teknologi di Indonesia*
_Tauhid Nur Azhar_
Berawal dari masalah merebaknya Malaria di seputar Batavia dan Ommelanden hingga menjadi penyakit endemik yang sangat serius dan menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di wilayah itu, sampai2 wilayah Batavia dikenal sebagai _Het Graf van Het Oosten_ atau kuburan di negeri timur.
Melihat kondisi tersebut dan adanya penemuan bahwa zat aktif kinine dari pohon Kina dapat menjadi anti Plasmodium maka Menteri urusan negeri jajahan seberang lautan kerajaan Belanda memerintahkan pembangunan pabrik Kina di Bandung di atas lahan bekas kebun karet. Maka kalau kita jalan ke bawah sedikit, Cicendo Gedung Pakuan dan mendekati rel kereta api akan menemui gang kebun karet, sisa pohon karet masih bisa dilihat di halaman gedung Pakuan.
Pabrik ini dinamai Bandoengsche Kinine Fabriek NV. Didirikan berdasarkan akta notaris BV Houthuisen No.12 29 Juni 1896.
Pak Menteri tersebut, CF Pahud pada tahun 1851 meminta FW Junghun seorang tokoh legendaris di Jawa Barat yg seorang dokter militer yg bersama Asosiasi Astronomi amatir Bandung juga membangun Observatorium Boscha (kelak menjadi observatorium pertama di Asia Tenggara) di tanah hibah keluarga Ursone pengusaha susu terbesar Lembang yg berasal dari Italia.
Keluarga Ursone ini juga mewakafkan tanah utk masjid Cipaganti di masa Bupati Hasan Soemadilaga dan Hoft Penghoeloe Bandung (Ketua MUI) nya KH Abdoel Kodir (buyut saya). Junghuhn juga donatur besar utk pendirian TH Technische Hoogeschol yg kelak menjadi ITB, ia juga penyumbang gedung pertama kantor PTT yg kelak menjadi Telkom.
Bersama KAR Boscha Junghuhn yang orang Jerman banyak membawa perubahan di Preanger atau Bandung Raya pada khususnya. Keahlian nya di bidang botani bahkan menghasilkan teori panduan elevasi tumbuhan dengan membagi iklim berdasarkan ketinggian tempat. Pembagian ini merupakan hasil temuannya terhadap jenis-jenis vegetasi yang tumbuh di wilayah dengan ketinggian berbeda-beda.
Kina sendiri pertama kali masuk ke Hindia Belanda berasal dari Peru dan ditanam Hasskarl di kebon coba Cibodas Cianjur tapi kurang baik hasilnya. Maka pada 1865 pemerintah kolonial mendatangkan benih Cinchona Ledgeriana Moens dan ditanam Junghuhn di Malabar Pangalengan dan akhirnya di sekitar 48 kebun di area Bandung-Garut. Kebun yg bersisa saat ini antara lain adalah Bukit Tunggul.
Kehadiran pabrik Kina di kebun karet akhirnya melahirkan Kimia Farma pada 1971. Dan bersamaan dengan itu Bandung pun menjadi pusat pengembangan sains dan telekomunikasi. Terlebih setelah Radio Malabar yg dirintis Dr De Groot sejak 1917 pada 1927 berhasil menghubungkan Den Haag dgn Bandung melalui saluran radiotelefoni.
Stasiun pemancar nya terletak di Rancaekek, Dayeuh Kolot, Cangkring, dan Cililin serta antena dan pusat radionya berada di gunung Puntang. Konstruksi pemancar pertama Indonesia ini dahsyat sekali kabel antena terentang sepanjang 3 Km dari gunung Puntang ke Gunung Malabar.
Pemilihan wilayah Puntang karena de Groot menemukan anomali selain secara koordinat berada dalam garis lurus dgn Belanda.
Sebelumnya pada 1923 _De Landskoepokinrichting en het Instituut Pasteur_ mulai pindah dari Weltevreden (Gambir) lokasi RSPAD sekarang. Pemindahan dipimpin oleh PLT Dirut, Dr Hoven van Genderen, tokoh biosains legendaris yg di tahun 1933 telah mempublikasikan karya ilmiahnya tentang pengaruh suhu pada pemrosesan antigen Difteri dan Tetanus toksoid. Dirut saat itu Dr. Walsch sakit.
Setelah pindah ke Bandung kegiatan pertama yg tercatat adalah inokulasi bibit cacar di Kerbau pada 24 Februari 1923 dan disusul Kuda pada 2 Maret 1923.
Prestasi luar biasa Lembaga Pasteur saat itu adalah kemampuannya menyediakan 12 juta dosis vaksin utk mengatasi wabah cacar di Indonesia. Hal yg kini seolah berulang di saat kita tengah menghadapi pandemi Covid.
Terobosan sangat besar dilakukan oleh Direktur berikutnya, pengganti Dr. Heght, yaitu Dr. L. Otten, namanya diabadikan sebagai nama jalan di dekat Biofarma. Karya besar beliau tercantum di _Droge Vaccine” (dalam GTvNI deel LXVI, 1926), “Dry Lymph (2nd Communication)” (dalam MDVG No. 4, 1932)_.
Terobosan yg dilakukan Otten adalah membuat vaksin kering dalam vakum dari yg semula cair dalam media gliserin.
Tentu saja terobosan ini sangat luar biasa dalam hal meningkatkan efektifitas pengiriman dan handling selama proses distribusi, juga penyimpanan. Karena tentu saja saat itu transportasi antar wilayah masih sangat sulit dan fasilitas penyimpanan di daerah sangat terbatas.
Pada saat yg bersamaan dengan pembangunan pabrik Kina di Kebun Karet Cihampelas, pada tahun 1864-1867 dibangun pula kediaman Residen di daerah Cicendo, 500 meter dari pabrik Kina.
Dibangun oleh tim _Genie Militair_ Belanda dengan arsitek Insinyur Kepala dari _Departement van Burgerlijke Openbare Werken (B.O.W)_ atau Dinas PUPR sekarang, yang menjadi staf dari Residen Van der Moore, Insinyur itu pula yang merancang bangunan Sakola Raja yang saat ini menjadi Kantor Polwiltabes Bandung.
Tenaga kerja mendapat bantuan dari Bupati Bandung ke 8 RA Wiranatakusumah atau Dalem Bintang. Para tenaga kerja itu mendapat perumahan di perkampungan Babakan Bogor atau dikenal juga sebagai Balubur hilir yg terletak di depan rumah dinas Pangdam III Siliwangi saat ini dan di belakang pabrik Kina.
Karena jasa penduduk Babakan Bogor itu, Bupati Bandung memberikan status bebas pajak kepada mereka.
Maka jika kita membicarakan konsep preservasi heritage kota Bandung, maka sepertinya semua terkait. Ada rumah keluarga Ursone di sekitar Cipaganti dan Lembang, masjid Cipaganti, pabrik Kina, Radio Malabar, Observatorium Boscha, gedung Pakuan, sampai kampus ITB, dan tentu saja gedung Jambu kantor pusat Binenland Bestuur alias kini dikenal sebagai Gedung Sate. Juga Museum Geologi dengan sejarah bentang alam Nusantara yg tercatat di dalamnya. Dan jangan lupa, paberik pesawat pertama Indonesia yang kini dikenal sebagai PT Dirgantara Indonesia juga berada di Bandung.
Karena Bandung juga menjadi sumber inspirasi bagi lahirnya industri dirgantara berteknologi tinggi di era Pak BJ Habibie.
Sejarah mencatat betapa terkejutnya masyarakat Belanda saat melihat ada sebuah pesawat monoplane (single wing) dengan sayap rendah berbodi (fuselage) kayu yang didesain ciamik nan cantik bergaya futuristik, dicatudayai mesin ganda berdaya 90 tenaga kuda, mendarat dengan mulus di bandara Schipol.
Ya, itulah pesawat made in Bandung dengan kode prefix PK-KKH. Dibangun di Jalan Pasirkaliki, Bandung. Perancangnya adalah Laurent Walraven dari dinas teknik LA (Luchtvaartafdeling) dengan dimodali oleh jutawan pemilik toko serba ada Merbaboe dan pengusaha roti dan daging, Khow Khe Hien.
Jadi Bandung memang sudah semestinya menjadi ibukota inovasi Indonesia, karena sejarah telah mencatat berbagai torehan emas inovasi dan hasil kaji terap teknologi lahir di kota ini.
Rumah dan toko serta gudang dua bersaudara dari Swiss yang tinggal di Bandung dan berjualan jam serta arloji sejak 1926. Horlogerie Stocker nama tokonya, H.P. Stocker dan P.E. Huber nama lengkap pemiliknya. Menyusul Bragaweg menjadi pusat sosialita Bandung dgn adanya Maison Bogerijen dan toko fashion OB alias Onderling Belang. Perubahan kawasan Braga dimulai sejak Societeit Concordia dan Homann mulai menjadi tempat rekreasi para Priangan Planters dari gunung2 seputar Bandung. Lalu CA Hellerman pada 1894 membuka winkel atau toko pertama di Braga yang menjual senjata dan berbagai perlengkapan kereta kuda. Maklum Braga kan dekat sekali dgn Grote Postweg nya Daendels.
Di rumah Stocker inilah teknologi jam Swiss diperkenalkan pada warga Bandung, maka ada area semi tertutup yang mungkin pada masanya menjadi area penyimpanan ataupun workshop bagi Stocker dan Huber untuk “mengulik” berbagai macam mesin jam.
*Konsep Singkat Neo Preanger Hotelverse*
Konsep _heritage hotelverse_ dari Preanger dapat diejawantahkan dalam konsep teknis sebagai berikut:
1. Adanya _recognition path_ yang “dititipkan” di berbagai interior hotel bergaya art Deco tersebut, yang dapat discan dan menautkan aktivasi AR di gadget tamu.
2. Konten AR dapat disiapkan dalam berbagai bentuk tampilan interaktif terkait budaya di masa jaya Preanger 1929: musik, ambience, profil, tokoh, seni Sunda, sampai ke berbagai menu kuliner yang secara nyata juga dapat menjadi menu andalan hotel Neo Preanger.
3. Peta interaktif kota Bandung berbasis AR, sebagai tema di setiap lantai atau kamar. Dimana AR dapat menampilkan konten sejarah dari jalan-jalan di peta tersebut sebagaimana yang say coba bahas di bawah ini
*Bandung Smart City 1930*
_Tauhid Nur Azhar_
Bagi sebagian yang pernah kuliah atau tinggal di Bandung tentu pernah mendengar sebuah nama jalan di pusat kota yang unik terdengar di telinga, Inhofftank. Nama apa ini ya? Nama orang atau wilayahkah? Atau apa? Ternyata oh ternyata… Inhofftank ini adalah suatu bukti sejarah bahwa Bandung pernah berjaya sebagai pionir _smart city_ garda depan di zamannya. Dan tak hanya itu saja, konsep smart city Bandung ini sudah mengakomodir banyak gagasan yang saat ini seringkali kita bahas dalam berbagai forum FGD dan webinar
Jl. Inhoftank
https://maps.app.goo.gl/BNge5auhf9G6HJ5o7 (monggo kalau ada waktu kita sepedahan ke sini sambil mempelajari sejarah kerennya sebagai cikal bakal Bandung Smart City )
Sebenarnya nama jalan ini salah eja, yang benar adalah Imhoff Tank. Masih ingat Baron van Imhoff salah satu Gubernur Jenderal Hindia Belanda? Nah marga Imhof itu yg menjadi asal muasal nama Inhoftank. Tapi bukan dari nama Pak Gubjen ya, melainkan dari penemu sistem tangki pengolah limbah yg berasal dari Jerman, Mas Karl Imhoff.
Nah cerita hebatnya, ternyata Bandung pada periode sekitar tahun 1930an tuh sudah mewujudkan gagasan saya terkait pengolahan limbah domestik, termasuk dari septic tank dan city sewage ke dalam tanki tanki pengolah limbah organik dan menjadikannya biogas yang dijadikan energi rumah tangga dan juga jaringan bus sekolah. Sungguh sebuah kota yg cerdas dalam mengelola limbah, lingkungan, energi, dan layanan publik.
Kawasan pengolahan limbah organik kota menjadi biogas itu menggunakan metoda tangki Imhoff. Lokasi pengolahan diduga yang saat ini menjadi Jl. Inhoftank. Daerah Tegalega (kampung Muararajeun) atau yang dulu dikenal sebagai _raceterrein_ alias lapang pacuan kuda.
Mengutip dari blog Mooibandoeng dan publikasi komunitas Aleut, pabrik pengolah limbah organik dengan metoda Imhoff yang diterapkan di Bandung desainnya ditujukan untuk mengatur ruang-ruang (tangki) penerimaan, pengendapan, dan penyaluran limbah. Dalam satu ruang, endapan ditempatkan pada bagian bawah, sedangkan bagian atasnya untuk aliran limbah baru.
Prinsip kerja Tangki Imhoff ini juga banyak dipakai di banyak tempat di dunia, semua menggunakan nama Imhoff untuk instalasi tersebut.
Hebatnya sang Insinyur, Karl Imhoff, sendiri yang merencanakan, membangun, dan mengelola instalasi ini di Bandung. Jadi Bandung adalah _living lab_ nya Imhoff dalam mengembangkan metodanya ini
Instalasi Tangki Imhoff di Bandung menggunakan prinsip kerja dimana terdapat tangki-tangki penerimaan, pengendapan, dan penyaluran. Pada tangki pengendapan, bagian terbawah dibiarkan tergenang dan membusuk/proses dekomposisi organik (dengan mikroba alami, kalau sekarang bisa diperkaya dengan enzim dll), sehingga mengeluarkan gas metana/CH4.
Dari tangki terbawah ini dipasang pipa atau saluran ventilasi yang dengan menggunakan katup pengatur dan kompresor pendorong dapat mengalirkan gas metana tersebut ke penampungan berupa tabung silinder besi dengan kapasitas 40 liter dan tekanan 1 atmosfer.
Selanjutnya sisa bio material yang telah diproses dan diambil biogasnya dipindahkan ke area pengeringan dan diolah menjadi pupuk organik. Pupuk tersebut dikirim ke dinas terkait di Gemeente untuk pemupukan taman dan hutan kota, kebun sayur organik di Cisarua, Parongpong, dan Ciwidey.
Jadi konsep dasarnya adalah hampir semua limbah domestik organik perkotaan dapat didayagunakan secara optimal. Dimana biogas yang dihasilkan antara lain disalurkan untuk penggunaan rumah tangga, penerangan jalan, dan ada kemungkinan dipakai sebagai catudaya bus sekolah. Keren pisan bukan?
Untuk mendukung program tanki Imhoff itu tentu diperlukan infrastruktur terpadu yaitu berupa jaringan kanal bawah tanah penampung limbah yang terintegrasi, dan tentu saja pusat pengolahannya yang memiliki fungsi komprehensif sebagaimana telah dibahas di atas.
Tak hanya itu saja, tentu selain sistem pengolah limbah yang maujud dalam infrastruktur terbangun tersebut, ada sistem dan regulasi yang dikembangkan sebagai bagian dari proses tata kelola. Ada peraturan dan instruksi yang harus disiapkan, juga kapasitas sumber daya manusia yang memenuhi standar kompetensi pelayanan yang dibutuhkan. Tak hanya itu saja, melainkan juga perlu model bisnis visioner terkait dengan pemanfaatan produk yang dihasilkan, antara lain maujud dalam perancangan konsep energi kota, moda transportasi massal, sampai pertanian organik yang kesemuanya dikembangkan secara paralel dan berkesinambungan.
Sungguh kita bisa belajar banyak dari konsep Bandung Smart City di zaman itu
Mulai merebaknya kekhawatiran terbaru akibat adanya varian Omicron yang ditemukan di Botswana lalu menyebar ke Afrika Selatan dan langsung menjadi _variant of concernnya_ WHO dan diberi nama B.1.1.529 membuat kita bersiaga dan berpikir tentang kesiapan kita dalam menghadapinya.
Kondisi ini jadi mengingatkan akan sepak terjang seorang peneliti, dokter, sekaligus olahragawan terkemuka yang pernah memenangkan medali perunggu cabang olahraga/cabor sepak bola di Olimpiade musim panas 1908 dan pernah menjadi Direktur Pasteur Institute yang kelak kita kenal sebagai Biofarma. Namanya diabadikan sebagai nama salah satu jalan di kawasan kantornya dulu berada. Ya, dia adalah Louis Otten.
Jl. Dr. Otten
https://maps.app.goo.gl/rs6QeJQ3ZouXCDBP8
Dr Otten ini keren abis loh guys
Semangat Biofarma atau yang dulu dikenal juga sebagai institut Pasteur saat ini mungkin juga adalah semangat Dokter Otten. Biofarma sudah terbukti saat mengarungi jaman yg penuh dengan ujian dan memerlukan pendekatan kecendekiawanan yang arif dan mampu memberikan harapan, dapat manjadi garda depan dan turut menyelesaikan persoalan.
Semangat Louis Otten, dokter hebat yang pernah menjadi Direktur Institut Pasteur di Bandung pada era 1930an tentu masih ada pada para generasi penerusnya.
Otten adalah seorang jenius multi talenta, ia saat masih kuliah di fakultas kedokteran adalah seorang atlet yang pernah membela tim nasional Belanda hingga tingkat dunia. Sebagai pemain bertahan alias bek timnas Oranye saat itu, Otten berhasil membawa Belanda meraih medali perunggu di Olimpiade Musim Panas 1908. Keren kan? Dokter sekaligus pemain bola juara III dunia/Olimpiade. Rupanya semangat Olimpiad; Citius, Altius, dan Fortius ini terus terbawa dalam DNA beliau.
Beliau setelah menjadi dokter justru meminta ditugaskan ke Hindia Belanda yang baru saja mulai terimbas wabah Sampar yang diakibatkan Yersinia Pestis. Pandemi memang selalu melahirkan pahlawan pahlawan hebat yang penuh dengan dedikasi dan inovasi ya. Sampar sendiri di Eropa dikenal sebagai _black death_ yang menewaskan hampir 25 juta manusia dengan proporsi penduduk dunia saat itu yang relatif jauh lebih sedikit dari hari ini.
Di Hindia Belanda Sampar dikenal sebagai wabah Woneng, karena penderitanya akan mengalami hiperbilirubinemia alias ikterik dan sekujur tubuhnya menjadi kuning. Wabah kematian hitam yang penderitanya menguning.
Karena vektor dari Yersinia Pestis adalah tikus, dan tikus banyak bersemayam di rumah dengan kondisi tidak layak seperti yang dibangun dari bambu dan sudah lapuk, maka pemerintah kolonial saat itu menggulirkan program _verbeterde woningen_. Perbaikan dan pembangunan kembali rumah di berbagai pelosok daerah terdampak pandemi dalam rangka memutus rantai transmisi.
Peran Otten dan cikal bakal Biofarma di masa itu sangat krusial. Otten dan tim peneliti Institut Pasteur berhasil mengisolasi bakteri Yersinia Pestis dari kutu tikus yang berhasil diamankan dari daerah pandemik di kawasan Ciwidey. Dari tikus Ciwidey, atau kutunya itulah vaksin Pes dibuat.
Maka metoda inactivated, live attenuated, variolasi dll sudah lama dikembangkan di Indonesia. Dengan vaksin itulah wabah Sampar perlahan mulai dapat dikendalikan.
Bukan hanya itu saja, inovasi Otten dan tim juga berdampak besar pada eradikasi penyakit Cacar atau Variola di tanah air. Otten lah yang menginisiasi metoda pembuatan vaksin berbentuk serbuk kering untuk menggantikan vaksin yang sebelumnya dibawa dalam media gliserin. Terobosannya mirip dengan inovasi kit RT-PCR mBioCov-19, Bio Saliva, dan Bio VTM saat ini yang membuat proses pengendalian pandemi menjadi efektif dan efisien. Vaksin kering tidak memerlukan tempat penyimpanan dengan persyaratan khusus yang rumit, maka proses distribusinya menjadi lebih mudah dan daerah cakupan vaksinasi dapat lebih luas. Dari titik inilah wabah cacar di Indonesia mulai terkendali.
Data teknis vaksin kering Otten dapat ditelusuri di tautan berikut:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/14925818/
Semangat inovasi Otten inilah yang antara lain masih sangat mendarah daging di saudara saudara kita di Biofarma. DNA mereka mengandung gen gen Otten rupanya. Ada baiknya jika kita bersama bisa menikmati virtual tour di museum Biofarma, agar semangat invensi ini dapat ditularkan sebagai semangat inovasi segenap anak bangsa agar dapat berkontribusi sebagai bagian dari solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi negeri.
*Westhoff dan Wiyata Guna*
Jl. Westhoff
https://maps.app.goo.gl/NNdtPYi1rdtQv9tc8
Siapakah Westhoff? Apakah dia juru masak Bika Ambon berwarna hijau yang saat ini kita kenal sebagai penganan unik khas toko roti Westhoff yang memang berlokasi di jalan yg bernama sama itu.
Tuan Westhoff adalah seorang dokter mata (optalmolog) yang bekerja di Koningin Wilhelmina-Ooglijder Gasthuis alias RS Mata Cicendo.Kepeduliannya yang besar terhadap nasib kaum tuna netra yang banyak ditanganinya sebagai dokter mata, membuatnya tergerak untuk membuat sebuah institusi yang dapat mengayomi mereka. Tempat para saudara kitab yang mengalami tuna netra dapat belajar, dirawat, dan memperoleh penghidupan yang lebih baik.
Beruntung pada saat itu ide Westhoff banyak didukung oleh berbagai pihak. Diawali di Cicendo didirikanlah Blinden Instituut en de Werk Inrichting voor Blinden Indlanders te Bandeong. Kemudian pindah ke tempat yang lebih luas di Braga dan pada akhirnya menempati suatu areal berupa tanah wakaf keluarga Wongso Tatum di kelurahan Pasir Kaliki yang kini terletak di Jl Pajajaran sebelah pabrik Kina. Ya, Westhoff adalah pendiri Wiyata Guna yang kita kenal hari ini.
Di awal pendirian institusi tuna netra ini bahkan raja Thailand pun memberikan sumbangan. Tapi tentu peran besar Wongso Tatum yang menghibahkan 3 hektar tanahnya perlu dicatat oleh sejarah. Seperti Nyai Oekri istri Tuan Ursone yang mewakafkan tanah untuk masjid Cipaganti.
Lalu biaya pembangunan dll datang darimana? Salah satu donatur terbesar nya tak lain dan tak bukan filantrilopis terbesar Hindia Belanda, KAR Bosscha si raja kebun Priangan. Kita berhutang banyak pada beliau, hampir setiap elemen peradaban di Bandung adalah sumbangan beliau bagi negeri yang amat dicintainya ini.
*Dr Slamet Sang Penyelamat*
Jl. DR. Slamet
https://maps.app.goo.gl/eDyTa6gAtjZV4mVV8
Dokter Slamet adalah salah satu alumnus STOVIA pasca Boedi Oetomo atau perkumpulan Boedi Oetomo (1908) yang menurut para ahli sejarah dianggap sebagai salah satu organisasi pergerakan yang memantik munculnya api kebangkitan nasional yang bermuara pada lahirnya cita cita kemerdekaan bangsa.
Sebagai generasi yang disemangati oleh semangat kebangkitan nasional para seniornya, dr Slamet amat mencintai profesi dan negerinya. Ia ujung tombak dalam memerangi wabah. Kondisi seperti masa pandemi kini, dulu juga pernah terjadi. Antara lain pes (yersinia pestis) yg melanda wilayah Garut dan sekitarnya.
Kembali ke asal usul nama jalan Dr Slamet ya. Dokter Slamet Atmosoediro dilahirkan di Lampegan, Cianjur, pada tahun 1891. Mengikuti pendidikan di STOVIA dan lulus pada tahun 1916. Setelah menjadi dokter, pernah bertugas di Batavia, lalu di Tobelo, Halmahera. Tahun 1927 dr. Slamet bertugas memimpin sebuah tim untuk memberantas wabah pes di Garut, sayang beliau justru terjangkit juga oleh penyakit tersebut hingga wafat pada 11 Mei 1930. Nama dr. Slamet kemudian diabadikan menjadi nama rumah sakit (Zieken Huis Garoet) tempatnya bertugas saat itu, RSUD dr. Slamet.
*Dr Rubini dan Peristiwa Mandor*
Jl. DR. Rubini
https://maps.app.goo.gl/sgoTJwPZCix6UrZ66
Mungkin masih ingat peristiwa pembantaian Mandor di Kalimantan Barat di zaman Jepang? Lokasi tepatnya di kabupaten Pontianak, dekat dengan kota Mempawah saat ini. Salah satu korban wafat di sana adalah dr. Rubini yang saat ini selain dijadikan nama RSUD Mempawah juga disematkan sebagai nama jalan di kota BandungBandung.
Tempat, tanggal Lahir: Bandung, 31 Agustus 1906.
Tahun 1930: menyelesaikan pendidikan di sekolah kedokteran Stovia Jakarta dan menyandang gelar dokter.
Tahun 1930 s.d. tahun 1934: mengabdikan dirinya sebagai tenaga kesehatan di Jakarta.
Tahun 1934: pindah ke Kalimantan Barat dan ditempatkan di Pontianak sebagai Kepala Kesehatan Pontianak.
Walaupun penuh dengan kesibukan dibidang kemanusiaan, namun dr. Rubini masih meluangkan waktu untuk membentuk suatu kelompok para cendikiawan di Kota Pontianak sebagai wadah memupuk jiwa patriotisme dan nasionalisme.
Pada saat pergantian kedudukan kekuasan (Tahun 1942) karena kekalahan pemerintah kolonialisme Belanda dengan tentara Jepang (Gunkansaibu) pada waktu itu, maka tenaga dokter yang ada di seluruh Kalimantan Barat oleh gunkansaibu disisakan hanya 3 dokter diluar Pontianak, yaitu di Sintang, Sanggau dan Ketapang. Tindakan ini sebenarnya merupakan rentetan rencana licik tentara Jepang untuk menjauhkan pemuka-pemuka masyarakat dan cendikiawan Bangsa Indonesia dari Rakyatnya.
Hal ini menjadi kenyataan dengan tertangkapnya berturut-turut Sultan Pontianak, para penembahan, pemuka serta kepala adat di seluruh pelosok Kalimantan Barat oleh pemerintah/tentara jepang.
Pada tahun 1944 dr. Rubini turut ditangkap oleh gunkanseibu bersama dengan dr. Ismail, dr. Achmad Diponegoro, dr. Soenaryo dan dr. Agoesdjam.
Akhirnya dr. Rubini gugur ditangan tentara Jepang di Mandor (Kab. Pontianak sebelum pemekaran Kab. Landak), yang sekarang dijadikan Kawasan Makam Juang Mandor sebagai salah satu situs bersejarah kekejaman penjajahan Jepang.
Untuk mengenang jasa beliau atas usul masyarakat dan persetujuan DPRD TK. II Pontianak serta persetujuan ahli waris almarhum dr. Rubini, maka melalui SK Bupati No. 121 Tahun 1984 Rumah Sakit Umum Mempawah ditetapkan namanya menjadi *RSUD Dr Rubini*.
Dr. Rubini mempunyai 1 orang istri yang bernama Ny. Amalia, dan dikaruniai 5 orang putri, yaitu: Rubinneta, Aminetty, Marlina, Martini, Maryetty.
*Asep yang Ditimbang dengan Berlian*
Jl. Asep Berlian
https://maps.app.goo.gl/7t2k3BYTdKNRncMQ9
Asep Berlian ini orang Palembang yang kakeknya menjadi nama Jalan Tamim karena merupakan pedagang kain paling sukses di jamannya. Nama aslinya Ki Agus Tamin. Anaknya bernama Agus Syukur, ini Bapaknya Asep Abdullah yg karena saat bayi berat badannya diukur menggunakan dacin yg pemberatnya berlian dikenal sebagai Asep Berlian. Makannya dekat makam orangtua saya yg dimakamkan di pemakaman Bupati Bamdung Karanganyar.
Sedangkan istri Asep Berlian adalah orang Ciamis, Ibu Atikah.
Ki Agus sendiri adalah gelar yang diberikan Sultan Demak. Kiagus disingkat (Kgs) gelar laki-laki dan Nyayu (Nya)/Yayu, gelar wanita. Kiagus asalnya Ki Bagus, singkatan dan Kyai Bagus, sebuah gelaran yang diberikan pada seorang ulama asal negeri Arab (keturunan Hadramaut) yang bernama Abdurrohman bin Pangeran Fatahillah.
Mengingat penguasa Palembang pada masa Demak juga adalah kerabat Majapahit yg bernama Arya Damar. Bersaudara dengan Adipati Jin Bun alias Raden Fatah. Jadi ada kemungkinan Asep Berlian itu masih keturunan Yaman atau Hadramaut yg berasimilasi dgn bangsa Tiongkok dan menetap di Palembang lalu hijrah ke Bandung
Jadi Tamim dan Asep Berlian itu berkerabat. Satu menjadi nama jalan di Pasar Baru, satu lagi di Cicadas
*Mengenal Prabu Wastukencana*
Jl. Wastukencana
https://maps.app.goo.gl/wP3RaKDBRAzqiUF69
Prabu Niskala Wastukancana adalah tokoh yang dapat membangkitkan semangat persatuan Ki Sunda pasca peristiwa lapang Bubat yang memilukan. Sejarah mencatat tragedi kelam yang merupakan akhir dari proses perjodohan antara putri Sunda Dyah Pitaloka dengan Maharaja Majapahit Hayam Wuruk.
Niskala Wastu Kancana atau Anggalarang atau Wangisutah lahir di Galuh, Kawali pada tahun 1348 dan wafat pada tanggal 1475, di Kawali, Ciamis. Niskala Wastu Kancana adalah raja dari Kerajaan Sunda Galuh bersatu dan memerintah antara tahun 1371 hingga 1475. Sebelumnya didahului oleh pamannya, Prabu Guru Mangkubumi Bunisora Suradipati atau Prabu Guru di Jampang (1357-1371) yang memerintah setelah kakaknya, Prabu Maharaja Linggabuana, gugur di Palagan Bubat.
Pasca tragedi Bubat kerajaan Sunda dan Galuh bersatu dan dipimpin oleh raja pengganti Prabu Linggabuana, yaitu Prabu Bunisora.
Saat peristiwa Bubat terjadi ia masih berusia 9 tahun dan selamat dari peristiwa berdarah tersebut. Kepedihan hatinya membuat ia melanglang buana ke Sumatera dan mendapatkan istri dari Lampung yang bernama Lara Sarkati. Dari pernikahan tersebut lahirlah Pangeran Sang Hangliwungan yang kelak akan berkuasa sebagai raja Sunda yang bertahta di Pakuan dengan gelar Prabu Susuk Tunggal.
Sedangkan pernikahan Wastukancana dengan Dewi Mayangsari, anak dari Prabu Bunisora atau Prabu Guru pamannya, membuahkan 4 anak, dimana anak sulungnya yang bernama Ningrat Kancana kelak menjadi raja Galuh yang bertahta di Kawali dan bergelar Prabu Dewa Niskala.
Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, memerintah di Kerajaan Sunda Galuh selama 103 tahun 6 bulan lebih 15 hari (1371 1475 Masehi). la wafat dalam usia kurang lebih 126 tahun. la masih sempat mendengar, Majapahit dilanda Perang Paregreg, akibat perebutan tahta di antara keturunan Prabu Hayam Wuruk (Bhre Wirabumi dan Wikramawardhana), yang terjadi pada tahun 1453-1456 Masehi. Akibatnya, selama 3 tahun, Majapahit tidak mempunyai raja. Di saat Majapahit sedang dilanda kerusuhan, ia sedang menikmati ketenangan dan kedamaian pemerintahannya, sambil tak henti hentinya bertirakat dan beribadah (brata siya puja tan palum).
Di akhir masa pemerintahannya suksesi yang terjadi kembali memecah kerajaan Sunda Galuh menjadi 2 kerajaan yang beribukota di Kawali Ciamis dan Pakuan Bogor. Hulu Citarum ke timur sampai Cipamali menjadi batas kerajaan Galuh Kawali, sedangkan ke arah barat dan utara menjadi wilayah Sunda Pakuan.
Jejak arkeologis peninggalan Prabu Niskala Wastukancana terdapat di prasasti Kawali.
Demikianlah sekelumit kisah tentang Prabu Niskala Wastukancana, sang raja pemersatu yang dapat membangkitkan kembali puing puing kerajaan yang semula terserak karena dihantam tragedi. Ujian berat saat itu tampaknya telah berhasil mempersatukan berbagai elemen kerajaan Sunda Galuh hingga dapat bangkit dan menjadi kekuatan politik yang bahkan mampu bertahan lebih lama dari Majapahit sendiri.
*Sejarah awal Sunda Galuh dan Hariangbanga*
Jl. Hariangbanga
https://maps.app.goo.gl/YA5uozzgUqmWDPyZ8
Mundur ke abad ke 8 saat Sunda Galuh yang bersaudara kerap berseteru dan salah seorang keturunan rajanya harus menjalankan kewajiban sebagai pewaris tahta Kalingga, atau cikal bakal Mataram Kuno, ada satu tokoh dikenal sebagai Prabu Hariangbanga.
Ia bergelar Prabu Kertabuana Yasawiguna Hajimulya yang berkuasa di tanah Snda selama 27 tahun, dari tahun 739 hingga 766 M. Ia sezaman dengan Sang Manarah, atau terkenal dengan nama “Ciung Wanara” yang berkuasa di kerajaan Galuh. Ia beistrikan Dewi Kancana sari, keturunan dari Resi Demunawan dari Saunggalah. Darinya, ia mempunyai anak yang bernama Rakeyan Medang, yang kemudian hari menggantikan kekuasaannya ketika ia meninggal.
Hariang Banga atau pada awal kelahirannya bernama Kamarasa, merupakan putra dari Prabu Temperan Barmawijaya dengan Dewi Pangreyep. Temperan menjadi raja Sunda dan Galuh pada tahun 732 M, setelah ayahnya, Sanjaya menjadi raja Kalingga Mataram di sekitar Jawa tengah sekarang. Temperan berkuasa selama 7 tahun, dari tahun 732-739 M, yang meninggal karena pengambil alihan kekuasaan (atau istilah sekarng kudeta) yang dilakukan oleh Ciung Wanara atau Sang Manarah pada tahun 732 M.
Konflik internal dan intrik di kerajaan Sunda dan Galuh ini rumit dan sangat kompleks, sehingga suksesi kerap terjadi melalui “kudeta” yang dilakukan sesama kaum kerabat.
Jl. Surya Kencana
https://maps.app.goo.gl/JM2ccgVxG8m958YJ9
Prabu Surya Kancana atau yang dikenal juga sebagai Raga Mulya bergelar pula Panembahan
Pulasari karena bertahta di wilayah pelarian yang terletak di lereng gunung Pulasari. Letak wilayah tempat bertahtanya raja terakhir Pajajaran itu di desa Kaduhejo, Kecamatan Menes lereng Gunung Pulasari.
Prabu Surya Kancana adalah raja terakhir Pajajaran (Pakuan), menurut Pusaka Nusantara III dan Krethabumi I disebutkan bahwa _Pajajaran sirna ing ekadasa suklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ilang Sakakala_ (Pajajaran runtuh pada tanggal sebelas bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka).
Masa berakhirnya Kerajaan Pajajaran (1482-1579), ditandai dengan diboyongnya Palangka Srimann Snwacana, tempat duduk kala seorang raja dinobatkan, dari Pakuan ke Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Palangka Pajajaran sebagai legitimasi kekuasaan atau dampar kencana sudah ada sejak era Sri Baduga dan dibuat oleh Prabu Susuk Tunggal sebagaimana dikisahkan dalam Carita Parahyangan sebagai berikut:
_Sang Susuktunggal inyana nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwa Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana Pakwan Sanghiyang Sri ratu Dewata_ (Sang Susuktunggal ialah yang membuat takhta Sriman Sriwacana untuk Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati yaitu istana Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Surya Kancana sebagai raja Pajajaran terakhir dapat dikatakan diruntuhkan oleh saudaranya sendiri, Maulana Yusuf dari Banten yg merupakan buyut Prabu Susuk Tunggal.
Tetapi jatuhnya benteng terakhir Pajajaran di Pulasari juga terjadi karena adanya pengkhianatan dari internal pasukan kawal raja Pajajaran sendiri. Ini menjadi pelajaran penting tentang nilai loyalitas dan integritas yang wajib kita renungkan bersama.
Gegara mencari data2 terkait nama jalan dll saya jadi dapat informasi bahwa pada tanggal 25 November 1945 ternyata Cikapundung pernah banjir bandang dan mengakibatkan sekitar 200 korban jiwa di sepanjang alirannya yg melalui Balubur, Merdeka Lio, Banceuy, Sasak Gantung, sampai daerah Lengkong.
Digambarkan sebagian wilayah tersebut sudah seperti danau karena kedalaman airnya mencapai 3-4 meter. Entah ini ada unsur kesengajaan atau murni faktor alam. Mengingat di daerah hulu kan ada waduk seperti di Pakar yang bisa saja dibuka pintu airnya secara mendadak, dan peristiwa seperti Situ Gintung di Cirendeu dapat terjadi.
Ironisnya pada saat TRI/TNI dan rakyat tengah membantu mengevakuasi warga terdampak, pasukan Inggris dibawah pimpinan Brigadir Mac Donald justru memberondong kerumunan tersebut. Mungkin ini hasil suatu perencanaan sistematis ya ? Mengingat memang saat itu pasukan Inggris yg melindungi kepentingan Belanda tengah berkonflik dgn pejuang kemerdekaan dan pasukan divisi Siliwangi. Inggris meminta pejuang dan rakyat mengosongkan Bandung Utara sampai garis demarkasi rel kereta api. Peristiwa inilah yg antara lain memicu lahirnya aksi heroik Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946.
Demikianlah dinamika sejarah dan “rasa” kota Bandung dan tlatah Sunda pada umumnya, semoga uraian di atas dapat membuka wawasan kita tentang arti pentingnya nilai yang dapat dimunculkan kembali dalam konsep desain kekinian hotel Preanger dan optimasi adopsi teknologi yang dapat menjembatani gap antar generasi hinggi nilai adililuhung Bandung dapat terus teraktualisasi.