24.4 C
Bandung
Tuesday, January 21, 2025

Buy now

Pers Kita Jangan Cengeng

PENGANTAR REDAKSI.

Pers Kita Jangan Cengeng merupakan tulisan wartawan super senior Jus Soema di Praja yang muncul tahun 1981, dan kami angkat kembali melihat konteks kekinian dan atas ijin penulisnya secara khusus kami muat. Selamat membaca.      

—-REDAKSI—-

MEMBACA tajuk rencana Kompas yang berjudul“Pertanggung-jawaban kepada pembaca” (13 Maret 1981) dan artikel-artikel mengenai masalah pers yang dimuat Kompas tanggal 6 dan 13 April 1981, hal ini sangat menarik perhatian penulis dan membuat hati tergugah untuk menulis secara singkat mengenai keadaan pers di Republik yang kita cintai ini.

Menerbitkan surat-kabar di negara berkembang tentunya penuh dengan segela resiko. Hal ini disebabkan karena demokrasi yang dijalankan, jauh berbeda dibandingkan dengan demokrasi di negara maju, seperti Amerika Serikat misalnya.

Kebebasan pers merupakan dasar utama bagi negara tersebut yang menganut demokrasi. Sedangkan bagi negara berkembang yang juga menggunakan falsafah demokrasi, kebebasan pers masih “terbatas”.

Resiko pemberangusan menghantui penerbit surat-kabar di negara berkembang, seperti di negara kita ini. Dalam masa orde baru, pemberangusan sementara maupun seterusnya sudah terjadi 3 kali. Pada masa Pemilu 1971 dua surat-kabar, yaitu Harian Kami dan Duta Masyarakat, ditutup untuk sementara.

Kemudian pada tahun 1974, setelah terjadinya “Malari”, sekitar 11 media cetak antara lain Abadi, Jakarta Times, Pedoman, Kami, Indonesia raya, Mahasiswa Indonesia (Jawa Barat), dan lain-lain ditutup untuk seterusnya. Selanjutnya pada awal tahun 1978, tujuh surat kabar terkemuka, antara lain Sinar Harapan, Kompas, Merdeka, Indonesian Times, Pelita ditutup untuk sementara.

Dari pengalaman ini, sulit bagi pers kita untuk memberikan informasi seakurat mungkin, seperti yang diminta oleh masyarakat pembacanya. Berbagai “tekanan” dengan Lembaga telepon, Lembaga himbau-menghimbau, ajakan dari pejabat-pejabat Pemerintah, agar media-masa melakukan sensor sendiri dan lain-lain, tentu sangat memberatkan bagi kehidupan pers di Republik kita ini.

Menurut penulis, kebebasan pers pada periode 1967 hingga awal 1974 masih lebih baik, bila dibandingkan setelah periode tahun 1978. Pada masa itu pers masih “berani” mengemukakan apa adanya. Namun setelah awal tahun 1978, hal ini tidak dimungkinkan lagi.

Hal ini disebabkan pers kita telah mengadakan perjan jiantertulis dengan pihak pemerintah yang tidak diketahui oleh pembacanya, untuk dapat terbit Kembali.

Sedangkan pada awal tahun 1975 ke sebelas media cetak tidak mengikat perjanjian, sehingga tidak dapat terbit kembali untuk bertatap muka dengan pembacanya.

Inilah ironinya, bila pers mengadakan “kompromi”. Jadi saya rasa tidaklah pantas pers kita mengeluh dengan nada pembatasan tersebut.

Didalam perjanjian yang ditandatangani oleh tujuh pimpinan surat kabar ibukota,  terdapat satu pasal yang memberatkan posisi pers kita secara nasional.

Pasal tersebut berisikan: Kami akan mengindahkan, memenuhi dan menjalankan ketentuan-ketentuan sebagaimana telah digariskan dalam peraturan dan perundangan, dewan pers, kode etik jurnalistik, serta keentuan lainnya yang dikeluarkan Pemerintah dalam rangka membina pers yang bebas dan bertanggungjawab.

Tentunya dengan persyaratan ini, pihak pemerintah dapat mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang tidak menyenangkan pers. Adanya Lembaga telepon, Lembaga himbau menghimbau, halaman surat kabar ditentukan 12 halaman, iklan hanya diperbolehkan 1/3 halaman yang ada merupakan produk dari perjanjian pers dan pemerintah.

Penulis menilai dalam hal ini Pemerintah tidak menyalahi dari ketentuan yang dibuat oleh pers tersebut pada awal tahun 1978. Masyarakat pembaca, tentunya tidak akan menuntut banyak dari pers, setelah mengetahui adanya perjanjian ini.

Dalam suasana seperti ini, pers saya harapkan untuk memberikan informasi berdasarkan fakta saja tanpa memberikan opini. Sehingga kasus Kompas yang membuat berita pembajakan pesawat Garuda pada Kompas Minggu (20 Maret 1981 yang lalu) dan dikutip sama pada penerbitan tanggal 30 Maret1981, jangan terulang lagi.

Kepada Pemerintah penulis menghimbau untuk memberikan “kelonggaran” pada pers untuk menyajikan berita-beritanya tanpa “tekanan”, agar dalam masyarakat jangan berkecamuk desas desus yang dapat meresahkan keadaan.

Sedangkan untuk pers kita jangan “cengeng” dengan keluhan-keluhannya, karena perjanjian yang ditanda tangani masih tetap mengikat

Jus Soema di Praja, ​Jakarta

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
3,912FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles