23.2 C
Bandung
Saturday, October 12, 2024

Buy now

PILPRES & GERAKAN PILIHAN SUNDA

OLEH  Rita Rossie*)

Aroma pemilihan presiden beserta segala polemiknya mulai tercium dan menusuk hidung setiap orang yang peduli akan negaranya, peduli akan bangsanya tapi sepertinya hanya segelintir yang memikirkan sukunya.

Karena tidak sedikit yang takut disebut primordial maka membicarakan kesukuan akan dianggap rasis, sebuah warisan ORBA dimana membicarakan SARA itu adalah sesuatu yang tabu, namun anehnya saat itu rakyat tidak terbelah dan tidak dipisahkan oleh sebuah garis demarkasi yang berbeda.

Setelah pilpres usai, kehidupan kembali normal siapapun yang terpilih jadi presiden, meski saat itu kita tahu bahwa pemenangnya itu-itu juga.

Menginjak era reformasi dimana sosmed sudah mulai menggeliat, kancah pilres menjadi ajang tawuran sosmed tapi belum separah saat ini dimana pasukan buzzer akan menyerang siapa saja yang melakukan kritik kepada pemerintah, bukan hanya di sosmed tapi sampai ke tahap pelaporan di dunia nyata, UU ITE menjadi pasal karet sepertinya, karena yang terjerat hanyalah orang2 yang dianggap kontra terhadap pemerintah.
ORBA hadir dalam wajah yang berbeda, lebih buruk menurut penilaian sebagian orang.
Padahal katanya yang akan menghancurkan bangsa ini bukan karena perbedaan ras, suku atau agama tapi kekuasaan yang menindas.

Kalau perbedaan suku bukan sebuah masalah, kenapa penguatan identitas kesukuan masih dianggap tabu?

Kenapa entitas sebuah suku hanya hadir lewat chasing saja, lewat baju baju adat pada saat seremonial atau berbagai upacara?

Kenapa bukan otonomi daerah yang diperkuat, dimana putra daerah berhak untuk berkembang dan memelihara kelestarian sarakannya?

Sebagai perempuan Sunda, tentu ada sebuah kebanggaan tersendiri apabila makin banyak orang Sunda yang duduk di parlemen, makin banyak orang Sunda yang berkiprah di pentas nasional, sehingga menepis stigma Jawa centris, atau urang Sunda meski sebagai suku kedua terbesar di negeri ini sepertinya tidak bisa melakukan claim agar keterwakilan sukunya menjadi proporsional, karena akan dianggap rasis dan etnosentris, koq suku lain, boleh?

Lalu siapa yang akan memelihara sarakannya? Lalu siapa yang akan melestarikan budayanya? Dan yang terpenting siapa yang akan meningkatkan marwah urang Sunda? Tentu bukan suku lain, bukan?

Indonesia itu keren karena keberagaman yang diikat dalam sebuah Negara Kesatuan, tidak bisakah urang Sunda melakukan bargaining dengan siapapun capres yang akan diusung, bukan semacam kontrak politik janji manis yang belum tentu akan direalisasikan saat sudah terpilih nanti.

Tapi lebih ke “PAPAITAN” atau komitmen capres terpilih terhadap suku Sunda itu sendiri.
Bahwa urang Sunda punya prinsip, “painful truth better than beatiful lie”, urang Sunda lebih suka capres yang tidak akan jalir jangji.

Urang Sunda lebih suka capres yang akan menjadi penyembuh luka daripada sekedar jadi plester buat koreng yang ada.

Urang Sunda guyub membangun power struggle demi kemulyaan sukunya dan kejayaan bangsanya yaitu Indonesia, bukan mengatasnamakan Sunda demi kepentingan dirinya atau kelompoknya sehingga membiarkan alam dan lingkungannya rusak, tunggul dirurud, catang dirumpak dan menyisakan kemiskinan dan kebodohan yang tak berkesudahan.
Mau sampai kapan?

Jangan sampai urang Sunda duduk dipinggiran dan hanya menjadi penonton karena tidak pernah benar-benar mau guyub.
Cag ah

Rita RR
Bendahar Gerpis

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
3,912FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles