SEPULUH warisan rezim Jokowi untuk siapa pun presiden baru. Pun kepada generasi rakyat Indonesia. Diungkapkan Muhammad Said Didu dalam video berlabel “Forum Diskusi”. Tayangan berdurasi 5,59 menit Mantan Sekretaris Kementerian BUMN itu bertajuk “Beban Berat Penerus Jokowi”.
Mengagetkan, sekaligus tidak mengagetkan. Sejatinya soal warisan yang bakal ditinggalkan rezim Jokowi sudah jadi perbincangan publik. Bahkan sudah menyusur obrolan di warung kopi. Dibilang mengagetkan, lebih pada rentetan warisan yang membuat publik harus “geleng kepala”. Bahkan membuat Indonesia Menangis.
Dua periode kepemimpinan Jokowi yang menyisakan petaka bangsa. Tak terbayangkan recovery sengkarut tata kelola negara dan pemerintahan nanti. Sebaliknya masih bergulir upaya keberlanjutan. Tak kecuali skenario “pengamanan” pascaakhir jabatan presiden.
Warisan yang mestinya menyenangkan. Bukan justru menyengsarakan. Alih-alih bermodal semangat reformasi. Di tangan rezim ini, tak kenal kata tuntutan reformasi.
Korupsi merajalela, angka kemiskinan kian tinggi. Itu salah satu warisan Jokowi. Utang meroket, bukan pada pertumbuhan ekonomi. Tak sesuai janji kampanye. Kecuali bulak-balik sebatas lips service. Nilai utang era Jokowi setara rp 1,7 triliun per hari. Bila ditambah beban utang BUMN, mencapai rp 3 triliun setiap harinya. Sebagai perbandingan di era Soeharto cuma rp 0,47 triliun/hari. Bahkan lebih minim pada era SBY yang rp 0,37 triliun. Per akhir 2022, utang negara sudah mencapai kisaran rp 7.733 triliun. Dahsyat tenan.
Warisan lain yang menyakitkan, justru penyerahan kekuasaan ke kawanan oligarki. Sungguh mencederai demokrasi yang mestinya terjaga dan terpelihara. Pemerintahan negara bertanggungjawab atas keberlangsungan demokrasi.
KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) pun tumbuh subur. Berbalik dengan tuntutan Gerakan Reformasi 1998. Menghapus KKN rezim orba. Soeharto mengangkat anak sulung jadi menteri, setelah 30 tahun menjabat presiden. Jokowi hanya butuh tiga tahun mendorong anak dan mantu jadi walikota.
Berikutnya, sejumlah pembangunan infrastruktur mangkrak dan tak layak. Meliputi bandara, pelabuhan dan jalan tol. Sementara biaya pembangunan dipacu lewat utang. Harus dicicil pengembaliannya.
Rezim juga mewariskan hancurnya kohesivitas sosial. Harus menjilat. Sebaliknya yang berbeda dicap intoleransi. Pun ketidakadilan yang memaksa sejumlah aktivis dikirim ke penjara. Antara lain Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan dan Anton Permana.
Tiga warisan lainnya adalah angka kemiskinan meningkat dan utang negara bertambah. Pun ketimpangan sosial dengan si kaya tambah kaya dan si miskin makin miskin. Terakhir warisan berupa penjualan sumberdaya alam (SDA) yang melahirkan banyak mental kacung.
Akhirnya Said Didu menyatakan, negara ini bisa diselamatkan — kalau pergantian rezim dari mental kacung ke orang-orang yang bernyali. Pemimpin ke depan yang punya semangat dan tak takut kepada cukong-cukong kekuasaan. ***
– aendra medita kartadipura