Oleh Imam Wahyudi
MOMEN yang dinanti itu terjadi. Memupus spekulasi dan teka-teki. Berhenti sampai di sini. Tak berlebihan, itu pula ekspresi berdemokrasi sejati.
Prabowo Subianto dan Anies Baswedan bersalaman dan berangkulan. Dua figur capres yang sebelumnya berseteru lewat kontestasi. Sebuah proses demokrasi yang menguras enerji. Di semua lini, nyaris tanpa kecuali.
Momen dramatis di Gedung KPU Jakarta, Rabu, 24 April 2024. Bukan semata pengumuman penetapan Prabowo – Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil Pemilu 2024. Usai pidato sebagai Presiden Terpilih, Prabowo menghampiri Anies Baswedan. Menyalami dan menggoyangkan tubuh Anies. Tanda perkawanan dan persahabatan. Keakraban yang jauh dari kepura-puraan. Genuine..!
Kehadiran Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar menunjukkan sikap kesatria. Legowo! Unjuk apresiasi atas berakhirnya kontestasi. Makna berdemokrasi hakiki. Anies sebagai pribadi mampu keluar dari konflik batin yang sungguh lumrah terjadi. Bahkan diawali kehadiran (wajib) di sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengakhiri sengketa hasil Pilpres 2024.
Prabowo dan Anies melepas tawa renyah. Berkelakar sambil bersalaman. Hal menarik dan membuat trenyuh, terharu beraduk sedih. Prabowo mengungkap perasaan yang juga pernah dialaminya. “Mas Anies, Mas Muhaimin, saya pernah berada di posisi Anda,” tutur Prabowo sambil menatap ke arah Anies dan Cak Imin. Bahkan, lanjutnya, “saya tahu senyuman Anda berat sekali itu,” ucap Prabowo disambut tawa dan tepuk tangan simpatik hadirin.
Setiap kontestasi pasti ada dinamikanya. Prabowo pun berkata, dalam pertarungan itu — kritik dan pernyataan yang tajam adalah hal biasa. Itu pula yang dituntut rakyat. “Kalau adem-adem aja, kalau kontestan itu tidak tajam, dan tidak keras — namanya bukan pilihan untuk rakyat. Rakyat minta pilihan, rakyat minta perbandingan. “Terima kasih Mas Anies dan Muhaimin, juga saya terima kasih sama Mas Ganjar dan Profesor Mahfud,” imbuhnya.
***
Prabowo dan Anies sejatinya mengayuh perkawanan persahabatan sejak lama. Tak kurang kebersamaan memerankan sebagai oposisi. Penulis ikut membersamai tiga momentum (baca: proses) politik yang melibatkan sosok Prabowo. Dua di antaranya di rumah kediaman Jl. Kertanegara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pertama, 20 Mei 2014 ikut mengawal pendaftaran paslon Prabowo – Hatta Rajasa. Saya tergusur massa pendukung. Berdesakan dan terhimpit hingga harus menyelamatkan diri di balik roda besar rantis Barakuda milik Brimob Polri. Urung bisa masuk ke halaman gedung KPU.
Kedua, 19 April 2017 ikut menyaksikan kemenangan Anies Baswedan – Sandiaga Uno sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Berlangsung di rumah Kertanegara, sekaligus mengawali redup polarisasi antarpendukung masa itu.
Ketiga, 21 Mei 2019 ikut menjemput “kemenangan” Prabowo – Sandi dalam pertaruhan pilpres. Bahkan penulis inisiasi mencetak kaos polo bertuliskan: Prabowo – Sandy, Meunang Euy..! Asa itu tak berlanjut.
Sinyal kemenangan Prabowo yang dibayangi aksi massa pendukungnya. Prabowo pun terkejut dengan opsi pengumuman KPU pada lewat tengah malam 21 Mei 2019. Kalah lagi. Ditandai gugatan ke MK yang akhirnya memutuskan Jokowi sebagai Presiden Terpilih.
Pada Pilpres 2024, saya tidak secara spesifik ikut bring-bring boy. Tapi jauh sebelum berlangsung eskalasi hingga belum ada deklarasi bacapres, pernah menulis bertajuk Anies, Sang Kandidat. Berseri meliputi tujuh tulisan selama sepekan, 15 sd. 22 Maret 2022. Setelah itu lebih terusik menulis seri Sketsa Pemilu Serentak 2024.
Kembali ke figur Prabowo. Teruji sebagai prajurit dan mantan Danjen Kopassus ini
Prabowo serupa aktor tahan banting. Ga ada matinye. Sudah tiga kontestasi pilpres diikuti. Mencatat hattrick kalah. Kali keempat sekarang, diawali dengan kekhwatiran kalah lagi. Akhirnya gol. Prabowo menjadi Presiden Terpilih 2024.
***
Kehadiran Anies dan Imin di pentas final Pilpres 2024 (Gedung KPU) telah menginspirasi banyak hal tentang makna berdemokrasi sejati. Menang atau kalah, tetaplah di jalur demokrasi itu sendiri. Membangun tradisi yang hendaknya berkelanjutan.
Momen bersejarah yang memberikan pemandangan indah bagi umumnya rakyat. Momen krusial yang mampu dilewati dengan baik. Tak kurang pula bernilai sakral, karena bersentuhan suasana kebatinan setiap orang di sana. Justru berlangsung masih dalam suasana IdulFitri. Bersalam-salaman dan bermaaf-maafan yang tak sekadar tradisi sarat makna dan arti. Tak sekadar formalitas dan basa-basi.
Akhir cerpen itu, Anies Baswedan tidak menganggap Prabowo sebagai musuh. Kelak, ia siap melakukan diskusi bareng. Sikap bersahaja yang tak perlu dispekulasikan lebih jauh. Tak harus dimaknai sebagai introduksi pintu koalisi. Bahkan posisi oposisi pun tetaplah dalam koridor berdemokrasi.***
jurnalis senior di bandung