Memangnya pembangunan IKN gagal? Tentu saja belum pasti. Hanya sinyal-sinyal ke arah itu terlalu telanjang untuk diabaikan. Apalagi kita tahu, Oktober nanti, mau tak mau, suka atau keki, Presiden Jokowi harus turun dari kursi. Di saat itu, kepada siapa pun yang menggantikannya, perkataan Jokowi tidak lagi sakti. Hanya semata anjuran alias advis yang bisa saja tidak dipeduli.
Kita tak tahu pasti, akankah 500 tahun ke depan para cicit dan janggawareng kita menceritakan kisah pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) layaknya legenda “Sangkuriang” dan “Bandung Bandawasa”. Legenda tentang kedua satria yang merasa diri sakti mandraguna, hingga menyanggupi untuk membangun impian kekasihnya—masing-masing membendung Citarum menjadi danau, dan bikin candi termegah di zamannya– dalam semalaman saja. Kita tahu, keduanya lancut, dengan kegagalan yang diceritakan dari generasi ke generasi.
Memangnya pembangunan IKN gagal? Tentu saja belum pasti. Hanya sinyal-sinyal ke arah itu terlalu telanjang untuk diabaikan. Apalagi kita tahu, Oktober nanti, mau tak mau, suka atau keki, Presiden Jokowi harus turun dari kursi. Di saat itu, kepada siapa pun yang menggantikannya, perkataan Jokowi tidak lagi sakti. Hanya semata anjuran alias advis yang bisa saja tidak dipeduli.
Sinyal tersebut kembali meraung—bukan berkedip—Senin (8/7) lalu. Saat berada di Lanud Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur, Jokowi ujug-ujug saja bicara batal pindah kantor ke IKN yang sedianya segera ia lakukan. Apa alasannya? “Airnya sudah siap belum? Listriknya sudah siap belum? Tempatnya sudah siap belum? Kalau siap, pindah,” kata Presiden Jokowi.
Dengan masa kepresidenan beliau tinggal berbilang bulan, keuangan negara yang berdarah-darah dihadapkan dengan dana jumbo sampai Rp466 triliun, plus pemerintahan baru yang punya prioritas lain, alhasil bayangan di depan mata hanyalah gambaran suram: Jokowi akan mewariskan the second Hambalang! Proyek mangkrak!
Pada titik inilah, sejak awal kita patut mempertanyakan Jokowi, orang yang lahirnya pun sudah hampir-hampir di zaman post-modern. Sekilas mengulang ingatan, masih segar dalam benak kita tatkala pada pertengahan 2022 lalu, Associate Profesor Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir, meminta pemerintah berhati-hati dalam memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Selain karena Indonesia tidak pernah memiliki pengalaman membangun sebuah kota dari awal, Sulfikar saat itu menyebut Naskah Akademik (NA) RUU IKN dikerjakan sangat buruk dan tidak kredibel. Menurut Sulfikar, sebuah NA yang akan jadi landasan pembuatan kebijakan dengan biaya besar, sumber daya yang banyak, dan proyek jangka panjang seperti pemindahan IKN, seharusnya ditulis dengan lebih serius dan kompeten.
“Apa tujuan akhir dari “otokratik legalisme”? Tujuan akhirnya adalah memperbesar kekuasaan bagi orang-orang tertentu, dan ini akan mematikan demokrasi,”kata Prof Susi. Ia juga menunjuk buku yang ditulis dua orang cendikiawan politik dari Harvard University, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, “How Democracies Die”. “Demokrasi mati bukan oleh militer, tapi oleh mereka yang dipilih melalui pemilihan umum yang demokratis. Jadi ini yang beberapa tahun ini saya khawatir, menunjukkan otokratik legalisme. Jadi bukan “rule of law”, tapi “rule by the law”. Menggunakan hukum hanya sebagai formalitas.”
Namun sikap yang paling tegas, lugas dan terang benderang dalam soal IKN tentu saja Rocky Gerung. Rocky menyebut IKN berpotensi dibatalkan pemerintahan setelah Jokowi. “Nggak ada pemerintah yang mau bayar utang pemerintahan sebelumnya,”kata Rocky dalam pernyataan khusus kepada TEMPO di kantor media tersebut, Selasa, 8 Agustus 2023. Kita tahu, Rocky kemudian menjadi bulanan-bulanan pelaporan ke Polisi karena pernyataannya itu.
Bagaimana IKN akan berakhir? Kita berharap yang terbaik, apa pun itu. Kita tak ingin Presiden Jokowi hanya mewariskan warisan berupa puing-puing persoalan dan proyek mangkrak. Mewariskan apa yang disebut Tim Weiner dalam “Legacy of Ashes: The History of CIA” sebagai warisan abu yang saat itu menjadi mimpi buruk tersendiri bagi Presiden Dwight D. Eisenhower yang akan segera keluar Gedung Putih. Akankah Pak Jokowi, pembuat produk meubel terkemuka yang dihargai para konsumen dunia, justru hanya akan mewariskan puing-puing bagi negeri tercinta? Semoga tidak. Kita tak perlu lagi menambah tokoh sejenis Sangkuriang dan Bandung Bandawasa. ***