Perjalanan Terakhir
Bersama Husni Agus
“Kang, nanti kita berangkat ke Bali akhir Oktober,” kata Aendra Medita. Obrolan kami bertiga, bersama sahabat Husni Agus. Di sebuah kafe Jl. Sangkuriang, Bandung, Sabtu sore, 07 September 2024.
Masih terngiang rencana kebersamaan di Pulau Dewata. Hari ini, Senin siang, 16 September 2024 — sohib Hernawan mengabarkan berita duka. Sahabat Husni Agus wafat di RS Al-Islam Bandung pk. 02.30. Diduga serangan jantung. Sungguh, saya sangat kehilangan. Betapa tidak, selama hampir dua pekan terakhir — kami kerap bersama. Di darat hingga komunikasi seluler lewat WA.
Aendra Medita adalah “sejawat” jurnalis. Dia pemred Jakartasatu.com yang punya garapan menggelar CSR Award di Bali pada 30-31 Oktober mendatang. Untuk itulah, dia mengajak kami (saya dan Husni Agus) untuk gabung. “Sambil refreshing,” kata Aendra — usai membuka pameran lukisan 49 perupa Indonesia itu.
Tiga hari sebelumnya, 04 September, saya mengajak Husni ke Serang. Perjalanan malam untuk sebuah acara esok harinya, Rabu pagi. Pentas “Senam Massal” bersama Raffi Ahmad untuk sosialisasi bakal calon Pilkada Kab. Serang.
Kami sempat mampir ke kompleks pejabat tinggi di Widya Chandra, Jakarta. Lanjut menuju Serang. Teringat, sekalian mampir ke teman eks “PR” lainnya, Agus Sanjadirja yang tinggal di kota itu. Tapi tak kesampaian, Agus mengabarkan sedang di Pamulang. Kami pun menginap di sebuah hotel lawas di Rangkasbitung.
Mengingat acara tujuan digelar pagi hari, kami praktis tak bisa tidur. Khawatir kesiangan. Selepas siang hari, kami balik ke Bandung. Perjalanan sekira 250 km, harus nyetir dalam kondisi belum sempat tidur. Husni Agus menyarankan untuk berhenti di _rest area_. Siapa tahu bisa tidur sesaat. Nyatanya tak mudah. Kami pun melanjutkan perjalanan. “Kita pelan2 saja, Gus” kataku.
Melewati kawasan Pancoran di ruas tol dalam kota, Husni tampak tertidur lelap. Sy tetap perlahan nyetir mobil. Jelang _rest area_ Km 88, kami santap malam. Meski rasa kantuk tak berlanjut mendera, Husni setuju untuk didrop di Pasar Kordon. Lanjut pake Gojek. Tapi jelang keluar gerbang tol Buahbatu, saya berbalik ingin antar langsung ke rumahnya di Klaster Jingga, Ciwastra. “Jangan lupa argonya, ya?” candaku. Husni Agus pun menjawab: Siap, sambil tawa ringan.
Canda dan tawanya, terasa menghibur di antara rasa lelah dan kantuk. Itu kali pertama perjalanan jauh bersamanya. Bahkan sejak barengan di PR dulu hingga bubaran dari PR. Pun kali terakhir perjalanan berdua. Rencana kami berangkat ke Bali, apa hendak dikata — tak akan terjadi. Husni Agus lebih dulu dipanggil Illahi Rabbi. Bersamaan itu mengingatkan saya untuk esok menyusul.
Sederet kenangan bersamamu tak kan terlupakan. Sejumlah karya foto jepretanmu bercerita tentang kehidupan. Hari-hari terakhirmu tampak lelah dan pasrah. Selamat jalan, sahabat Husni Agus.*