24.3 C
Bandung
Wednesday, December 4, 2024

Buy now

Pertarungan Dualisme Pemahaman Peran Serta Masyarakat Akibat Faktor Kepentingan

Pertarungan Dualisme Pemahaman Peran Serta Masyarakat Akibat Faktor Kepentingan

Oleh: Damai Hari Lubis

(Abstrak, Quo Vadis Peran Serta Mayarakat Sebagai Perintah Undang-Undang namun absurd penerapannya)

Dalam kasus ujar kebencian hate speech/ HT dan Jo. pencemaran nama baik Jo. Menyangkut Perkataan atau pernyataan bohong merupakan problematika hukum tanah air yang menyangkut UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berlaku saat ini, yang ketentuannya diatur oleh UU Nomor 1 Tahun 2024, yang merupakan perubahan kedua atas UU No. 11 Tahun 2008.

Tuduhan terhadap pasal hate speech senafas dengan pasal yang tertera di KUHP dan sesuai asas dan teori hukum pidana karakter dari HT merupakan delik aduan dengan kategori delik materil.

Perkara yang menyangkut hate speech atau ujar kebencian ini dapat berkembang menjadi sebuah perkara pidana, untuk menggunakan tuduhan tehadap pasal ini aparatur penegak hukum harus mengawali dengan adanya dugaan pelanggaran terhadap Pasal 28 Ayat 2 atau Pasal 28 Ayat 3 UU ITE tentang penyebaran informasi yang sifatnya menghasut dan menimbulkan kebencian serta penyebaran berita bohong, andai melibatkan kelompok atau golongan tertentu mesti di Juncto kepada pasal 45A ayat (2) dan yang terkait delik ini juga diatur di dalam Pasal 310, Jo. Pasal 311 KUHP tentang fitnah yang berakibat pencemaran nama baik.

Maka sesuai rumusan hukum tersebut antara kedua sistim hukum yang menyangkut UU ITE dan KUHP absolut harus memenuhi kriteria dengan dengan 5 faktor penting:

1. Harus adanya laporan dari korban;

2. Delik dilakukan dengan sumber dari sebuah atau lebih kebohongan;

3. Faktor perbuatan Terlapor dilakukan dengan menggunakan atau penyebarannya melalui alat information of technology/ IT;

4. Ada akibat yang menimbulkan kerugian materil pada korban individu (lintas profesi dan lintas jabatan) atau perbuatan pelaku telah atau bakal berakibat kerugian moril lalu menjadi “ganjalan atau menghalangi” atau merusak reputasi dan nama baik atau merugikan kepentingan pribadi si korban pelapor atau kelompok dan atau golongan tertentu;

5. Ada dua alat bukti yang cukup yaitu barang bukti dan dua orang saksi

Oleh karenanya dan oleh sebab hukum, tanpa adanya 5 aspek dimaksud, maka segala tuduhan pelapor yang menyertainya terhadap terlapor harus gugur demi hukum, karena dugaan terhadap tuduhan tidak memenuhi rumusan kriteria delik HT atau ujar kebencian.

Oleh sebab hukum, setelah tidak menemukan kriteria dimaksud,  penyidik Polri atau Penyidik Kejaksaan, harus segera menghentikan proses hukum terhadap tuduhan atas perkara melalui surat penghentian penyelidikan pada tingkat penyelidikan atau surat penghentian pada tingkat penyidikan melalui surat perintah penghentian penyidikan atau SP 3.

Maka, andaikan penyerahan berkas objek perkara terlanjur (dipaksakan) oleh oknum penyidik atau sepakat diterima oleh JPU untuk ditingkatkan kepada penuntutan, lalu setelahnya baru ditemukan persyaratan kriteria tidak terpenuhi (setelah melalui tahapannya) maka pihak JPU. dapat mengeluarkan surat penghentian penuntutan.

Bahwa, kesemua surat yang bersifat perintah ditetapkannya penghentian dari instansi Polri atau penghentian penuntutan oleh pihak Kejaksaan atau JPU ketentuan pengaturannya terdapat di dalam KUHAP/ UU. RI. Nomor 8 Tahun 1981 yang jika tidak diterbitkannya surat penetapan yang bersifat penghentian dimaksud akan bermuara di badan peradilan umum lalu menyisakan perilaku pelanggaran HAM.

Eksistensi Peran Serta Masyarakat dan Hate Speech dan Realitas serta Hubungan Hukum

Asas Legalitas Peran Serta Masyarakat dan historis hukum

Sebuah kepastian hukum bahwa ketentuan hukum tentang Peran Serta Masyarakat memiliki sifat absolutisme yaitu  HARUS BERLAKU atau WAJIB DIBERLAKUKAN (IUS KONSTITUTUM) karena peran serta masyarakat merupakan wujud atau implementasi penjabaran substansial atau makna sesungguhnya terkait sikap bangsa dan negara saat kemerdekan atau saat berdirinya NKRI dalam wujud kesepakatan bahwa kedaulatan negara berada ditangan rakyat atau rakyat bangsa ini memiliki kedaulatan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti makna atau logika hukum yang tercantum di dalam Pasal 2 ayat (1) UUD. 1945 sebagai induk konstitusi dan keterkaitan terhadap hubungan hukum serta pemahaman terhadap ketiga asas-asas fungsi hukum yaitu kepastian, manfaat serta keadilan.

Dan selanjutnya dari dan oleh karenanya hal kedaulatan ditangan rakyat hirarkis dari UUD. 1945 sebagai induk acuan sistem hukum, turun lalu termaktub di dalam semua undang-undang sebagai sebuah eko sistim hukum yang sifatnya adalah hukum positif, sehingga otomatis ketentuan pasal pasal yang mengatur tentang Peran Serta  Masyarakat eksis berada pada seluruh undang-undang dan semua regulasi dibawahnya, sebagai kebutuhan pengawasan didalam penyelenggaran negara (alat kontrol sosal)  terhadap seluruh pejabat (tinggi) publik dan atau fungsi kontrol terhadap para penyelenggara negara, akibat daripada sistim hukum a quo yanh ada, maka mutatis mutandis para pejabat publik dan atau para penyelenggara negara tidak kuasa menolak peran dan fungsi umum daripada Peran Serta Masyarakat dalam makna seluas-luasnya.

Hate Speech dan Reaitas Tuduhan

Bahwa menyangkut HT maka peristiwa perkaranya harus menyentuh UU. ITE tepatnya Pasal 28 Ayat 2 atau Pasal 28 Ayat 3 Jo. 45A ayat (2) dan Jo. Pasal 310, Jo. Pasal 311 KUHP.

Dan tentunya terhadap tuduhan yang beresiko penjara adalah hal yang super serius. Oleh karenanya agar tidak salah menghukum atau tergelincir sebagai bentuk  penganiayaan terhadap HAM seorang manusia atau dalam bentuk kolegial, maka kebenaran substansial (materiele waarheid) atau kebenaran yang sebenar-benarnya kebenaran, sehingga mewajibkan para penegak hukumnya (aparatur  negara) menggali background atau historis perbuatan si terlapor terduga, oleh karenanya aparatur yang bertugas harus intensifikasi dan menganalisis secara kompleks,  jangan sampai semua pihak terjebak, bahwa ternyata perkara yang dituduhkan sebagai delik HT merupakan bagian daripada pelaksanaan atas perintah sistim hukum dari sebuah pasal yang pasti ada terdapat pada seluruh undang-undang yang berlaku, sebagai penjelmaan tuntutan dari induk sistim hukum (UUD. 1945) yang biasa disebut sebagai “Peran Serta Masyarakat”. Sehingga sejatinya dalam perspektif logika hukum, justru perilaku terlapor merupakan wujud kepatuhan atau ketaatan pada perintah hukum sesuai hukum positif atau hukum yang justru mengikat sesuai asas ius konstitutum dalam makna : “HUKUM ITU HARUS BERLAKU atau HUKUM HARUS DILAKSANAKAN

Adapun Realitas Tuduhan Hate Speech saat rezim Jokowi mayoritas dugaan pasal HT/ ujar kebencian kepada individu publik di tanah air berdasarkan data empirik, perkara cenderung berlanjut ke vonis oleh “muaranya hukum”, dan indikasi yang mengacu dari sisi pandang sosiologi hukum, justru dikarenakan adanya faktor tendensi pemaksaan dari pihak eksternal, disebabkan bahwa terhadap diri pelapor atau objek laporan menyentuh tubuh individu the have (orang yang beruang) atau pejabat publik atau berhubungan dengan pihak swasta dari kelompok konglomerat yang memiliki pengaruh selaku kroninya pihak penguasa (oligarki) atau kolega seorang oknum pejabat tinggi publik dan atau sesuatu yang berhubungan dengan pejabat tinggi penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan  yudikatif).

Sehingga, antara “Peran Serta Masyarakat” sesuai perintah konstitusi, dengan perilaku/ perbuatan fitnah/ dugaan delik laster atau Kebohongan  telah terjadi overlapping pemahaman, yang akhirnya melahirkan dualisme penerapan hukum, oleh sebab sisi pandang dan perilaku aparatur justru subjektif, dan faktor subjektivitas yang justru diluar unsur prinsip hukum, telah berkolaborasi dengan gejala gejala faktor kepentingan dari pelapor dan penyidik oleh kemudian faktual sistim hukum secara de facto terkontaminasi dalam pemahaman bahkan disaat penegakannya.

Selebihnya HT menjadi alat “komoditi” kepentingan penguasa dan oligarkis, oleh sebab temuan indikasi adanya faktor intervensi oleh atas dasar kekuasaan atau bahkan oleh sebab keterpaksaan para oknum aparat atau hal yang diluar kemampuan para aparatur untuk menolaknya. Sederhananya, gejala-gejala bad morality para aparatur, disebabkan adanya konspirasi politik hukum yang menyentuh atau keterkaitan terhadap tubuh pihak-pihak atau para oknum penyelenggara negara.

Tentang sosiologi politik hukum pola penghentian penyidikan diluar SP. 3 dan penghentian tuntutan  persentasenya amat kecil, dan jika pun terjadi yang “mendapatkan reward” adalah mayoritas diluar aktivis atau diluar tokoh oposan, melainkan para individu koalisi rezim, bahkan ada yang menguap begitu saja atau stagnasi tanpa alasan hukum apapun.

Namun, diluar daripada realitas penegakan hukum yang ada dan nyata, secara legalitas hukum, ada pola penghentian penyidikan dengan metode sistim hukum  restoratif of justice, disertai bukti perdamaian dan tanda pencabutan laporan/ pengaduan.

Sisitim Hukum Peran Serta Masyarakat diatur oleh semua undang-undang

Oleh karenanya keberadaan sistim hukum yang keseluruhannya terkait khususnya pasal yang terdapat ketentuan atau bermakna “peran serta masyarakat” sebenarnya tidak terdapat dualisme, yang membuat perbedaannya adalah faktor attitude individual aparatur (behavior) yang tidak berlaku objektif sehingga tidak akuntabel karena adanya faktor kepentingan terhadap pelapor atau faktor seseorang yang diluar kemampuan atau tidak ber-kesanggupannya para aparatur dilapangan menolak terhadap intervensi model  cawe -cawe pada beberapa a quo in casu yang mereka tangani.

Walau dalil keterpaksaan para oknum aparatur irelevant mendapat justifikasi, oleh sebab sistim hukum dilarang turut serta pada setiap perilkau kejahatan dari entitas dengan tipikal moral hazard (kelompok amoral)

Penegak Hukum Transparan “sengaja men-disabilitas” Pemahaman Konstitusi

Walau dasar hukum peran serta masyarakat juga diatur dalam pasal.108 KUHAP yang secara majas, sebagai KUHAP hidangan sarapan pagi para oknum penyidik polri, dan Penyidik Kejaksaan/ JPU bahkan para hakim, sehingga sesuai fungsi dengan jabatan intelektual yang mereka emban serta dikaitkan dengan asas fiksi hukum atau presumptio iures de iur, yang bermakna prinsip keberlakuan hukum yang dianut oleh sistim negara Republik, bahwa semua orang dianggap tahu tentang keberadaan semua undang-undang, walau hidup dan kehidupan mereka sekalipun selamanya berada di wilayah pegunungan dan mereka tidak tamat sekolah dasar.

Lalu bagimana para penegak hukum dapat menyimpang untuk memahami pasal 108 KUHAP yang isinya setiap hari mereka telan? Pasal yang dari seluruh pasal dari kitab hukum yang memuat “peran serta masyarakat”:

Pasal 108 KUHAP

“Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis”

Sehingga sepanjang pelapor dan penyidik tidak dapat membuktikan bahwa perbuatan terlapor bagian daripada delik melainkan sebagai bentuk peran serta masyarakat, melainkan perbuatan atas temuan dalam hubungannya dengan peran serta masyarakat, maka seandainya pun tentang apa yang disampaikannya baik melalui lisan maupun tulisan keliru oleh sebab bukan hal yang menjada-ada atau sengaja ingin memfitnah dan bukti yang Ia sampaikan atau gunakan pun bukan sengaja dibuat oleh nya sendiri yang sengaja dirinya palsukan, atau tahu bahwa temuan yang Ia atau dirinya sampaikan dan atau yang Ia gunakan dia sudah ketahui sebelumnya adalah kabar atau sesuatu yang bohong atau palsu, namun tetap Ia sampaikan, maka andai diluar itu semua, irrelevant untuk dituduh sebagai pelaku ujar kebencian atau delik fitnah/ laster atau yang dapat dituduh sebagai pelaku delik pencemaran nama baik, justru TEPATNYA ANDAI ADA INDIVIDUAL atau JAMAK   MELAKUKAN “PERAN SERTA MASYARAKAT” MAKA LAYAK TERHADAP MEREKA DISAMPAIKAN REWARD MINIMAL DARI PARA APARATUR ATAU PENGUASA NEGARA DUA KATA, “TERIMA KASIH”

Adapun deskriptif narasi artikel merupakan cerminisasi penegakan hukum realistis atau wajah hukum yang berada dibawah bayang-bayang politik kekuasaan (oligarkis), fenomena moral hazard atau perilaku penguasa yang TERAMAT JAUH DARI SEMPURNA, TEPATNYA MENYIMPANG JAUH DARI TEORI MORAL PANCA SILA.

Sehingga bangsa ini sulit memperoleh inti dari 3/ tiga fungsi hukum yang tertinggi, karena nyatanya rezim penguasa era lalu Jokowi, menolak keadilan/ Justice.

Namun bagaimana dengan era kekinian ? Wait and see. Semoga lebih baik bagi bangsa ini kedepannya yang hobi ewuh pakewuh, yang emoh terapkan kalimat ILMIAH, CERDAS, INDAH dan TEGAS, “JASMERAH” Walau hak konstitusi mereka dan bakal cicit mereka terkoyak, tercabik-cabik serta terpotong-potong dan  banyak terbuang.

Sebuah kesimpulan hubungan hukum antara Hate Speech-Peran Serta Mayarakat

Bahwa hubungan hukum antara keduanya hate speech dan peran serta masyarakat amat sinkronisasi dan indah (synergy and very beautiful). Tidak ada overlapping, justru yang dirasakan oleh publik, para aktor yang malah membuat tumpang tindih, termasuk yang cacat (disabilitas)  pemahaman atau cacat berpikir adalah para perilaku manusia penggunanya atau para aparatur yang lupa fungsi hukum (user behavior).

Apa dalil kesimpulan dari argumentasi hukum artikel ini ? Bahwa KUHAP sebagai kitab Hukum Acara Pidana Formil, berisi ketentuan atau norma untuk digunakan sebagai panduan dan pedoman seluruh aparatur penegak hukum (polisi, jaksa, advokat serta para hakim),  petunjuk perilaku untuk memproses perkara sejak pemanggilan pertama, atau investigasi, penetapan status TSK  dakwaan, requisitoir, pleidooi dan vonis hingga banding dan kasasi serta herziening, dan diantaranya, ada perintah kepada publik, agar melaksanakan peran serta masyarakat yang nyata dan jelas terdapat pada pasal 108, bahwa seseorang uang menemukan atau melihat atau mengalami tindak kejahatan, maka dapat melaporkan kepada pihak kepolisian yabg terdekat, dan pola laporan tentu saja halal dengan pola kritisi, protes, petisi. Dan bahkan unjuk rasa, sesuai sistim hukum Kebebasan Menyampaikan Pendapat dan juga sesuai UU. Tentang Hak Asasi Manusia atau UU. HAM baik secara lisan dan atau tulisan sendiri atau melalui teori “rame-rame tidak dapat dikalahkan”.

Salam sedih dan hormat dan tanya, “quo vadis NKRI?”

Penulis adalah Sekretaris DK DPP KAI/ Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
3,912FollowersFollow
0SubscribersSubscribe
- Advertisement -spot_img

Latest Articles