(Tulisan ringan (turing) menutup seri Sketsa Pilkada Serentak yang rilis mulai 28 Juli 2024).
HARI ini, Rabu, 27 November 2024 merupakan puncak Pilkada Serentak 2024. Hari pungutan suara dan libur nasional. Serentak akan melahirkan 545 pasangan kepala daerah yang baru.
Sejumlah itu meliputi 37 gubernur dan wakil gubernur, 93 wali kota dan wakil wali kota serta 415 bupati dan wakil bupati. Berlangsung hanya satu putaran, kecuali untuk DKI Jakarta.
Pilkada berlangsung hanya satu putaran. Berlaku sistem _simple majority_. Berapa pun selisihnya, perolehan suara terbanyak akan langsung ditetapkan sebagai paslon terpilih. Sesuai Undang-undang 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Pilkada DKI Jakarta menjadi satu-satunya provinsi yang memiliki keistimewaan. Dimungkinkan dua putaran, ketika jumlah suara di antara paslon tidak mencapai setara lebih 50%. Terlebih dengan tiga paslon kontentan. Keistimewaan itu mengacu Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota NKRI.
Sepanjang hari ini boleh jadi bikin degdegan para paslon. Jelang sore sudah bakal ada hasil (sementara) berdasarkan hitung cepat (quick count). Bersifat prediktif lewat pendekatan exit poll, saat pemilih keluar dari TPS. Sementara hasil akhir (real count) diumumkan, setelah penghitungan dan rekapitulasi suara dalam spasi 20 hari hingga 16 Desember mendatang.
Apa pun hasil akhir, penyelenggaraan pilkada belum cukup ideal. Dalam sistem dan aturan hingga tata-cara masih cukup banyak bolong. Yang mutakhir, soal sesi debat kandidat yang cenderung formalitas semata. Menjadikan kandidat terjebak performa formalis. Tepuk tangan semu sebatas unjuk dukungan terhadap masing-masing paslon.
Sesi debat yang terkungkung aturan main yang kaku hingga mirip robot. Tak ada eksplorasi lebih jauh. Tak sesuai judulnya sebagai debat publik. Tak ada saling debat. Nyaris kopong.
Hal lain, soal APK (alat peraga kampanye) yang faktual hanya memproduksi sampah visual. Sejumlah lainnya masih perlu kajian sebagai evaluasi. Tak kecuali hal-ikhwal teknis yang masih konvensional. Wajar, bila hasil akhir masih kerap memicu sengkarut.
Pilkada yang amat sangat hi cost (biaya tinggi). Baik di tingkat penyelenggara, dalam hal ini KPU, pemerintah, parpol pendukung hingga kandidat calon. Biaya tinggi yang justru membangunkan hantu korupsi di kemudian hari. Atasnama balik modal. Biaya tinggi yang berlangsung di antara himpitan ekonomi rakyat. Pada saat bersamaan, daulat rakyat menjadi tersekat. Sekarat! ***
– imam Wahyudi (iW)